Sabtu, 14 Mei 2011

Penulis: Syaikh Ahmad bin Yahya An Najmi

Jawab: Salafi adalah nisbah kepada salaf.

Salaf sendiri artinya adalah para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pengikut mereka (tabi'in) dengan baik dari penghuni tiga kurun yang dimuliakan dan yang setelah mereka, inilah yang disebut dengan salafi. Bernisbah kepadanya artinya bernisbah kepada apa yang dipegangi oleh para shahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan kepada jalan ahlul hadits.Dan ahlul hadits adalah para pengikut manhaj salafi yang berjalan di atasnya.

Maka salafi adalah sebuah aqidah dalam masalah nama-nama Allah dan sifat-sifatNya. Juga sebuah aqidah dalam masalah qadar, aqidah dalam masalah shahabat, dan seterusnya. Maka para salaf beriman kepada Allah dan dengan nama-namaNya yang indah dan sifat-sifatNya yang tinggi yang Allah sendiri sifatkan diriNya dengannya dan yang disifatkan oleh RasulNya shallallahu 'alaihi wa sallam.

Mereka (para salaf) beriman kepadaNya menurut bentuk yang sesuai dengan kemuliaan Allah tanpa melakukan tahrif (merubah kata hingga merubah makna), tamtsil (memisalkan Allah dengan makhluk), tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), ta'thil (meniadakan sifat bagi Allah atau menyatakan Allah tidak memiliki sifat apapun) dan ta'wil (mengartikan dengan salah, seperti misal; tangan Allah diartikan kekuasaan Allah. Ini salah. Tangan Allah diartikan juga dengan tangan Allah. Tapi tentunya tidak boleh menyerupakannya dengan tangan makhluk-red).

Mereka para salaf juga beriman kepada qadar baiknya dan buruknya. Dan tidak sempurna iman seseorang hingga dia beriman dengan qadar yang Allah taqdirkan atas para hambaNya. Allah berfirman: "Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan qadarnya" (Al Qamar: 49)

Adapun dalam masalah shahabat, maknanya adalah beriman bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wajib kita ridho kepada mereka dan meyakini bahwa mereka adalah orang yang adil. Mereka adalah sebaik-baik ummat dan sebaik-baik kurun/generasi. Dan meyakini bahwa mereka semua baik. Ini berbeda dengan keyakinan Syi'ah dan Khawarij yang mengkafirkan para shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak menghormati mereka.

Adapun dalam salafi tidak ada tokoh selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam adalah pemimpin kelompok ini dan panutan mereka. Dan juga para shahabat adalah panutan mereka. Dasar hal ini adalah sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

"Telah terpecah orang-orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu golongan dan terpecah orang Nashara (Nasrani) menjadi tujuh puluh dua golongan. Dan akan terpecah ummatku (Islam) menjadi tujuh puluh tiga golongan. Semuanya dalam neraka, kecuali satu golongan. Para shahabat bertanya: Siapakah mereka, wahai Rasulullah? Beliau berkata: Mereka adalah orang yang berdiri diatas apa yang aku dan para shahabatku berdiri diatasnya." (HR Abu Daud dan dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shohih Sunan Abu Daud 3/115).

Dan juga Beliau bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah radhiallahu 'anhu yang menerangkan tentang khuthbah beliau yang padanya beliau berwasiat untuk bertaqwa kepada Allah, maka beliau berkata: "Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak dari Habsyi." Kemudian Beliau menyuruh untuk berittiba' kepada sunnahnya dan sunnah para khulafaur rasyidin al mahdiyin (khalifahnya yang mendapatkan petunjuk dan hidayah). Beliau katakan: "Gigitlah (sunnah itu) dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian dari perkara-perkara yang baru dalam agama, karena setiap perkara yang baru adalah bid'ah dan setiap kebid'ahan adalah sesat." (HR Turmudzi dan dishohihkan Syaikh Al Albani dalam Shohih Sunan Turmudzi no.2830).

Sumber : Buletin Islamiy Al-Minhaj, Edisi II Th. I
http://darussalaf.org/stories.php?id=237

Rabu, 11 Mei 2011

Butuhnya Manusia akan Ilmu

Rabu, 07 Desember 2005
Penulis: Ust. Abdul Aziz

Sebagaimana halnya makanan, yang dipergunakan manusia untuk kelangsungan hidup. Karena seandainya keimanan tidak dipupuk dengan ilmu, maka ibarat tanaman menjadi layu bahkan hancur.

Sehingga tidaklah terwujud keberadaan iman seorang kecuali dengan ilmu. Al Imam Ahmad menyatakan : "Manusia sangat membutuhkan ilmu dari sekedar menyantap makanan dan minuman; karena makanan dan minuman dibutuhkan oleh manusia sekali atau dua kali dalam sehari. Sedangkan ilmu ilmu dibutuhkan setiap saat." (Thobaqot Al Hanabilah 1/147)

Bahkan seluruh makhluk Allah sangat butuh kepada ilmu. Karena tidak akan tegak urusan makhluk kecuali dengan ilmu.

Langit-langit dan bumi bisa berdiri kokoh adalah dengan ilmu, begitu pula diturunkannya para rasul dan kitab-kitab-Nya juga dengan ilmu. Serta tidak akan diketahui perkara halal-haram kecuali dengan ilmu.

Oleh karena itu, kewajiban seseorang dalam menuntut ilmu syar'i berlangsung hingga menjelang wafat.

Sebagaimana Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam senantiasa menyampaikan dakwah dan nasehat hingga menjelang wafat beliau.

Diriwayatkan oleh Al Hakim di dalam Mustadraknya dan dia berkata : -di atas syarat dua syaikh- dari hadits Anas radliyallahu'anhu dari Nabi Shallallahu'alaihi wasallam bahwasanya beliau bersabda : "Dua keinginan yang tidak pernah merasa puas darinya : "Keinginan terhadap ilmu dan tidak pernah merasa puas darinya, dan keinginan terhadap dunia dan tidak pernah merasa puas darinya.

Nabi menjadikan keinginan terhadap ilmu dan tidak pernah merasa puas darinya sebagai komitmen iman dan sifat-sifat kaum mukminin. Oleh karena itu para imam kaum muslimin apabila dikatakan kepada mereka : "Sampai kapan engkau menuntut ilmu?" maka dia mengatakan : "sampai wafat!"

Nu'aim bin Hammad berkata : "Aku mendengar Abdullah ibnul Mubarak radliyallahu'anhu berkata - sekelompok kaum mencelanya karena beliau sering menuntut ilmu hadits.

Maka mereka mengatakan ; "sampai kapan engkau mendegarkan (hadits)? Beliau menjawab : "sampai mati!"

Al Hasan bin Manshur Al Jashshosh berkata : "Aku mengatakan kepada Ahmad bin Hambal radliyallahu'anhu : "Sampai kapan engkau akan menulis hadits?" maka beliau mejawab : "Hingga wafat!"

Abdullah bin Muhammad Al Baghawi berkata : "Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata : "Sesungguhnya aku menuntut ilmu sampai masuk ke liang kubur."

Muhammad bin Isma'il As Shooigh berkata : "Aku tinggal bersama ayahku di Baghdad, kemudian lewat di hadapan kami Ahmad bin Hambal dalam keadaan memegang sandal. Lantas ayahku menarik bajunya, dan berkata : "Wahai Abu Abdillah (panggilan Ahmad bin Hambal), apakah engkau tidak malu! sampai kapan engkau menuntut ilmu? Beliau menjawab : "sampai mati!"

Demikianlah beberapa perkataan para ulama yang menerangkan begitu semangatnya mereka dalam menuntut ilmu. Sehingga mereka mencurahkan waktu dan tenaga untuk meraih lezatnya ilmu.

Sesungguhnya bagi siapa saja yang memahami hikmah dibalik perintah menuntut ilmu tersebut niscaya dia tidak akan pernah menyia-nyiakan waktunya sedikitpun dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Dia akan merasa rugi tatkala luput dari manisnya ilmu.

Dia akan memanfaatkan masa sehatnya untuk banyak menimba ilmu sebelum tiba masa sakit. Serta dia akan mengisi waktu hidupnya dengan hal-hal yang mengundang keridhoan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebelum ajal tiba.

Begitulah seharusnya cerminan seorang mukmin yang mengharapkan perjumpaan Rabbnya.

Seiring dengan itu, syetan juga tak pernah menyerah untuk menjerumuskan manusia ke lembah kebodohan. Sehingga dengan kebodohan seseorang terhadap ilmu mengakibatkan lemahnya keimanan dan minimnya ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Sesungguhnya orang yang bodoh tidak mengetahui hakekat iman dan taqwa. Dan tidak mengetahui pula jalan untuk menuju keselamatan berdasarkan ilmu dan keyakinan yang mantap.

Tentu saja hal ini semakin membuka peluang bagi syetan untuk menggiring orang tersebut kepada kemaksiatan dan kesesatan. Tatkala kebodohan telah merajalela, maka akan meningkat pula kemaksiatan, kriminalitas, cinta kepada dunia yang berlebihan dan takut apabila kematian menjemputnya, dan sebagainya.

Semua Ini merupakan diantara sebab lemahnya kaum muslimin, sehingga Allah menimpakan kehinaan kepada mereka. Rasa gentar yang menghunjam pada jiwa-jiwa musuh-musuh Islam hilang seiring dengan dicabutnya kewibawaan kaum muslimin.

Sehingga musuh-musuh kaum Muslimin tidak segan-segan untuk mengintimidasi dan memberangus persatuan kaum muslimin.

Sementara mayoritas manusia terlena dengan kehidupan dunia yang fana ini dan melupakan akherat yang kekal abadi.

Oleh karena itu diantara sifat-sifat penuntut ilmu yang diajarkan oleh rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam adalah ihklas dalam menuntut ilmu. Sebab dengan keikhlasan ini akan menghantarkan seseorang kepada tingkatan hamba yang sangat butuh kepada ilmu dan membentenginya dari riya' (ingin dipuji oleh orang lain) dan sebagainya.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Barangsiapa yang mempelajari ilmu dari apa- apa yang dia cari dengannya wajah Allah Azza wa Jalla. Tidaklah dia belajar kecuali untuk memperoleh bagian dari dunia, maka dia tidak akan mencium wangi syurga pada hari kiamat." (HR Ibnu Majah, Al Muqadimah 1/252 dan Ahmad, Al Musnad 2/338)

Dalam berhias dengan keikhlasan ini juga harus dibimbing dengan ilmu dan tidak cukup dengan modal semangat semata. Sebab berapa banyak orang yang pada awalnya ikhlas dalam melaksanakan amalan, namun tatkala berada di tengah perjalanan mengalami penurunan secara drastis.

Ini semua tidak lepas daripada peran syetan dalam menggoda bani Adam. Syetan berupaya untuk memberikan rasa was-was di dalam diri manusia sehingga memperngaruhi keikhlasan. Oleh karena itu peran ilmu sangat besar terhadap keikhlasan seseorang.

Cukuplah bagi seorang muslim akan berita Allah Subhanahu wa Ta'ala bahwa ilmu merupakan sebaik-baik ganjaran dalam berbuat kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman : "Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka.

Demikianlah balasan bagi orang yang berbuat baik, agar Allah akan menutupi (mengampuni) bagi mereka perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan ganjaran yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan." (Az Zumar 33-35). Dan ini menunjukkan dua ganjaran baik di dunia dan akherat.

Al Hasan Berkata : "Barangsiapa yang sangat baik peribadatannya kepada Allah pada masa mudanya, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala akan menganugerahkan hikmah (Ilmu) kepadanya tatkala beranjak dewasa."

Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan tatkala dia (Nabi Yusuf) cukup dewasa kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah kami memberikan balasan kepada orang- orang yang berbuat baik." (Al Ilmu Fadluhu wa Syarfuhu 226-227)

Demikian sifat dan kedudukan ilmu yang sangat mulia sebagai ganjaran yang paling berharga bagi seorang muslim yang ingin menggapainya.

Oleh karena itu kebutuhan manusia terhadap ilmu merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar- tawar lagi. Jikalau ingin mendapatkan keberuntungan dunia dan akherat maka tempuhlah jalan ilmu syari'at. Sehingga dengan demikian Allah akan mempermudah baginya untuk menuju surga yang diidam-idamkan.

Kita memohon kepada Allah agar dibukakan pintu hati kita dengan taufik dan hidayah-Nya. Sehingga kita senantiasa butuh kepada ilmu yang bermanfaat. Dan mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala senantiasa mencurahkan kepada jiwa kita perasaan cukup terhadap nikmat-nikmat yang diberikan-Nya. Amin Yaa Mujibas Saailin.